Negeri tanpa Pejuang

“Tuan, tahukah Anda bahwa kebanyakan para pria di negeri kami ini sakit?” ujar saya pada Anda.

Benarkah demikian? Saya justru melihat pria-pria di negeri kalian sehat-sehat saja, gagah perkasa malahan.

Saya tertawa. “Ternyata Anda juga terkecoh Tuanku !”

Wajah Anda tampak bingung. “Apa yang luput dari pandangan mata saya?”

“Mereka sudah lama sakit Tuan. Tubuh mereka kuat. Tapi hati dan pikiran mereka rapuh. Jika Anda cermati lebih dalam, hidup mereka adalah pelarian, menghindar dari satu ketakutan, menuju ketakutan baru, bukan untuk mencari kebenaran apalagi kesejatian. Di antara mereka mungkin ada yang tampil sebagai pejuang. Mereka mengaku menyembah Tuhan. Mereka bilang mereka peduli kepada sesama. Padahal itu demi untuk menguatkan ego masing-masing mereka. Mereka membohongi diri sendiri untuk merasa diri nyaman. Alhasil, hanya pertengkaran demi pertengkaran yang tiap hari muncul di negeri ini. Karena setiap orang merasa dirinya lah yang paling benar.”

“Bagaimana dengan wanitanya?”

“Hawa nafsu wanitanya kian buas dan berkuasa tuanku. Para wanita di negeri ini makin tak punya rasa malu, tak memiliki keteduhan, dan semau-mau dirinya,” jelas saya.

Anda mengernyitkan dahi. “Mengapa hal mengerikan ini bisa sampai terjadi di negeri yang tanahnya subur ini?”

“Ulamanya Tuanku” jawabku

“Hah. Apa maksudnya?
“Mereka menjual ilmu dan umatnya, demi mendapatkan recehan dari para penjajah yang ingin memeras tanah subur kami”